BERMAIN, MAIN-MAIN, DAN DIPERMAINKAN ( 3 D OBJECT EXHIBITION )

|

Oleh: Deni Juanedi*

Hidup adalah permainan, dalam bermain mesti memperhatikan aturan main, jika main-main hanya akan dipermainkan.


Sejak 1938 manusia mendapat julukan baru sebagai homo luden atau manusia bermain. Predikat yang diberikan oleh Johan Huizinga, sejarawan dan ahli budaya dari Belanda, mengisyaratkan bahwa bermain adalah elemen penting dalam pertumbuhan budaya. Sementara lebih dari tiga belas abad sebelumnya, dalam kitab suci Al Quran surat Al An’aam ayat 32 disebutkan bahwa kehidupan ini adalah permainan dan senda gurau belaka (kehidupan sesunguhnya ada di negeri akhirat).

Huizinga menyebutkan bahwa salah satu karakter bermain adalah bebas tanpa beban. Kondisi nir-tekanan memungkinkan manusia untuk mencerap banyak hal. Beberapa pendidik terinspirasi oleh gagasan tersebut untuk menciptakan teknik learning by playing.

Play with 3D Object yang dipilih Katalis Art Forum sebagai tajuk pameran yang berlangsung tanggal 22 September hingga 22 Oktober 2008 ini sedang menggunakan spirit bermain dalam menciptakan karya-karya tiga dimensi. Pemilihan terminologi tiga dimensi (3D object) ketimbang patung (sculpture) juga semakin memperkuat niatan bermain dalam melahirkan karya.

Patung secara tradisional diartikan sebagai karya trimatra yang diciptakan dengan cara memahat (carving) maupun mencetak (modelling) yang umumnya dibuat dari bahan kayu, batu, ataupun metal. Difinisi tersebut tak lagi memadai ketika karya trimatra dibuat dengan cara menyusun benda-benda tertentu yang tidak lazim untuk disebut sebagai sebuah patung, misalnya dengan merangkai bekas onderdil mobil, tumpukan buku, atau rangkaian bungkus mie instant. Apalagi untuk menyebut barang sehari-hari yang ditaruh begitu saja dalam ruang pamer.

Rata-rata penulis akan menelusuri cara kerja seperti ini pada karya Marcel Duchamp tahun 1917 bertitle Fountain. Dengan memakai nama samaran R. Mutt, Duchamp berniat menghadirkan paturasan (urinal) di ruang pamer tanpa menambah apapun kecuali tanda tangan dengan nama samarannya tersebut. Tempat kencing itu segera menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan dewan penyelenggara pameran dengan mempertanyakan apakah Fountain termasuk karya seni atau bukan, dan akhirnya mereka memutuskan untuk tidak memamerkan ‘barang’ tersebut. Fountain hilang setelah pameran, dan reproduksinya baru muncul di New York tahun 1950. Karya yang menjadi momentum penting seni modern tersebut sering dijuluki sebagai karya readymades atau found art.

Sebenaranya karya berbasis barang temuan telah dikerjakan berpuluh ribu tahun selumnya. Di zaman prasejarah, tahun 10.000 SM., orang Meksiko telah menggunakan tulang pinggul binatang ilama untuk membuat wajah binatang coyote. Dengan cerdas nenek moyang bangsa asli Amerika tersebut memanfaatkan lubang tulang pelvis sebagai mata coyote.

Semangat bermain dengan karya tiga dimensi semakin subur di era postmodern yang berslogan form follow fun, berbeda dengan form follow function seni modern atau form follow meaning seni klasik.

Bermain dengan objek tiga dimensi dalam pameran ini dapat dapat dilakukan dalam wilayah material, visual, maupun gagasan. Agung Hanafi Purboaji dengan karya Heaven Chair (2008) sukses bermain material. Ia memadukan closet duduk dengan jok mobil dan menghiasinya, persepsi kenikmakan ia timbulkan pada diri penonton, seolah-olah sedang buang hajat di surga.

Sementara Ismed lewat Objeck # 4 (2008) bermain di tataran visual. Peniti yang kodratnya berupa logam yang tajam, ditangannya dapat disulap menjadi bentuk-bentuk visual yang mencitrakan nada-nada puitik nan lembut. Bentuk repetisi yang dibuat dengan cara menganyam peniti mengingatkan pada kehalusan tirai sutra. Cahaya yang ditempatkan dengan tepat semakin mendramatisasi suasana.

Kasih Hartono lebih memilih bermain di wilayah gagasan. Ngeyel/Belajar Lansekap (2008) mewujudkan gagasan uniknya, sekaligus satiris, untuk mengatakan mulai padatnya tanah Indonesia. Lapangan sepak bola yang mestinya dibuat di lahan datar ia kerjakan di sawah berundak. Karya ini bermata ganda, selain persoalan kepadatan penduduk penonton juga akan melihat permainan yang tidak adil jika dilakukan di lapangan ini. Kesenjangan yang dalam antara miskin dengan kaya, bodoh dengan pintar, kuli dengan juragan, atau singkatnya yang di atas dengan yang di bawah tercermin di karya ini.

Bermain, atau tepatnya bermain dengan sungguh-sungguh di atas rel aturan main, bukanlah persoalan gambang. Bermain dengan penuh sportifitas tanpa kehilangan kreatifitas juga memerlukan kebijakan mental. Main-main, atau bermain dengan sembrono, sering kali berbuah masam dan berakibat buruk: dipermainkan. Karena hebatnya kekuatan bermain, sampai-sampai Csikzentmihalyi menyebut salah satu ciri pribadi kreatif adalah kombinasi antara sikap disiplin dan bermain dan dapat berselang-seling antara imajinasi dan fantasi, namun tetap bertumpu pada realitas. ▀

* Penulis adalah Dosen Seni Lukis ISI Yogyakarta dan Redaktur MAKNA Media Para Perupa.