Undangan Diskusi Publik bertemakan ”Estetika Panorama Urban” Oleh Tok Basuki

|

Fenomena Urban bagi masyarakat Indonesia masih dianggap hal yang sepele. Bentuk akan fenomena ini kerap kali diabaikan oleh sebagian masyarakat. Misalnya, polusi, billboard, obyek grafiti atau hal yang lain.

Untuk mengetahui lebih dalam pemikiran Tok Basuki mengenai Estetika Panorama Urban, maka Katalis Arts Forum Yogyakarta bersama Jogja National Museum mengundang teman-teman untuk hadir dalam acara Diskusi Publik bertema “Estetika Panorama Urban” bersama Tok Basuki (seorang perupa Australia). Dalam diskusi ini, Tok Basuki akan memperlihatkan fenomena urban dari kacamata dirinya dan kebudayaan untuk membahas satu hal tersebut di atas.

Kegiatan akan dilaksanakan pada:

Hari/ tanggal : Sabtu, 14 Maret 2009

Waktu : 19.30 -selesai

Tempat : Jogja National Museum Lt 1.

Jl. Amri Yahya No.1, Gampingan, Yogyakarta.

Antara Nama dan Nama

|

Pameran “Kelompok Kecil”

Oleh Dian T Indrawan

Kelompok seni rupa yang berdomisisli di Yogyakarta yang menamakan diri mereka sebagai “Kelompok Kecil” berawal dari sebuah gagasan kecil oleh beberapa anak-anak muda yang notabene berasal dari satu daerah yang sama yaitu: Padang, Sumatra Barat. "Dari obrolan dan perbincangan santai antar teman tentang kegelisahan-kegelisahan berkarya sehingga diskusi yang serius diselingi dengan gurauan karena karya-karya yang telah mereka lahirkan kini banyak menumpuk di rumah masing-masing, hingga terbesitlah ide untuk mengadakan sebuah kegiatan berpameran bersama yang bertujuan untuk menyatakan keberadaan mereka dan rasa tanggung jawab sebagai seorang seniman kepada para pemerhati seni dan masyarakat umum agar karya-karyanya dapat dipertunjukkan kepada khalayak." Kata Benny Kampai salah satu seniman Minang yang saya temui sesaat menjelang pembukaan pameran.

Terpilihnya tema pameran bersama yang mereka beri judul “Antara Nama dan Nama” adalah dari pemahaman dan bahasa yang bisa diungkapkan secara sederhana atasa pencapaian tujuan seorang perupa dalam berkarya seni. Seniman selalu mempertanyakan pada dirinya tentang apa, untuk apa dan untuk siapa” karya yang akan dan yang telah diciptakannya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentunya akan dikembalikan kepada serangkaian nama-nama sebagai faktor turunan selanjutnya sesuai dengan kepentingan masing-masing. "Terpilihnya Jogja Nasional Museum yang terletak di kampus ASRI-ISI lama di daerah Gampingan atau tepatnya di jalan Prof. Amri Yahya, no. 1, Yogyakarta ini dikarenakan lokasi tersebut dahulu sebelum kampus ISI harus dipindahkan ke daerah Sewon, Bantul hingga sekarang, adalah sebagai tempat dimana telah dilahirkannya seniman-seniman besar Indonesia bahkan dunia, sehingga mereka pun berharap kelak dikemudian hari akan muncul seniman besar Indonesia selanjutnya yang berasal dari kelompok ini, serta tempat tersebut cukup luas dan besar untuk menggelar karya-karya dari ke 36 anggotanya. " Jelas Ali Umar salah satu seniman Minang yang kebetulan juga Directure Katalis Arts Forum Yogyakarta. Pameran akan diselenggarakan pada tanggal 14-21 Februari 2008, yang akan dibuka oleh Bp. Juprial, seorang pengusaha muda perantauan sukses dari daerah Minangkabau di Yogyakarta, pada malam pembukaan tanggal 14 Februari, pukul 19.30 WIB.

“Kelompok Kecil” yang terdiri dari 36 perupa, dua diantaranya adalah peserta undangan yaitu Galang dan Latif dengan maksud bahwa kelompok kecil ingin membaur dengan perupa-perupa selain dari komunitas Minang untuk berbagi ilmu dan cerita. Ini bukanlah sebuah kelompok tetap yang akan terus menjalankan kegiatan berkesenian secara bersama-sama sampai selanjutnya setelah pameran ini diselenggarakan. Dalam keanggotaan, kelompok ini bisa saja dikemudian hari para seniman yang bergabung akan mencari bahkan membentuk sebuah kelompok baru lagi untuk mengapresiasikan karya-karya selanjutnya karena dalam “Kelompok Kecil” tidak ada peraturan yang mengikat para anggotanya agar tetap terikat dalam suatu aturan yang “memaksa” untuk terus bergabung bersama.[*]

SOLOEXHIBITION: 1+1=3

|

Oleh Dian T Indrawan


Pameran yang dinamakan ‘soloexhibition’ ini tidak memiliki pengertian seperti umumnya yakni pameran tunggal, tetapi pengertiannya adalah kolaborasi sejumlah perupa yang menjadi satu kesatuan; ketunggalan. Asia Andrzejka Amorin dan Mirko Baselgia asal Swiss, menginisiasi pameran ini bersama tujuh belas seniman perempuan Jogjakarta. Seniman-seniman yang diajak haruslah perempuan, karena mereka berdua merasa bahwa sebagian besar pameran-pameran yang mereka datangi dipenuhi oleh kaum Adam. Hingga munculah sebuah pertanyaan besar, dimanakah para seniman perempuan berada? Pertanyaan ini akhirnya terjawab dengan mengajak para seniman perempuan untuk berkolaborasi, menyajikan karya bersama.


Menurut Nissak Latifah saat pembukaan pameran mengatakan bahwa pameran ini lebih diset non konfensional karena sebenarnya semua karya adalah sudah seperti saja bentuknya, namun hanya cara pendisplayannya saja yang sedikit berbeda agar pengunjung mendapat hal yang berbeda dan mulai berfikir dengan konsep ini. Melalui Nissak Latifah dan Dwi Kartika Rahayu didapatlah ke tujuh belas seniman perempuan lainnya, yakni: Anditapurna, Arieza Tri Purnawinasih, Arista Nurlinawati, Budi Asih, Fanti Sulistianingsih, Ferial Afiff, Fithrie Shakira Sanz, Hikmah Setia, Renie ‘emonk’ Agustine, Pitra Ayu, Puji Rahayu, Ria Riftanti, Rina Kusumastuti, Suciati Amanah dan Widi. Mereka kemudian menamakan kolaborasi ini dengan kata “Schöb”; yang berarti indah, bagus dan cantik.


Eksekusi karya tidak dibatasi konteks tertentu, bebas untuk menampilkan karya dalam bentuk apapun, serta tema apapun. “Karya yang dipemerkan sebenarnya tidak memandang bagus tidaknya karya tersebut tapi dalam pameran ini memberikesan yang berbeda dengan konsep yang berbeda pula. Pameran ini dikonsep dengan lebih berbeda dengan konsep pameran konvensional yang cenderung lukisan ditempatkan ditempat yang bagus dan dikemas dengan mewah.” Tambah Nissak Latifah. Prosesnya dengan beberapa pertemuan, masing-masing saling berbagi mengenai karya yang akan mereka tampilkan. Hasilnya, karya lukis, drawing, instalasi, objek, video, foto dan performans tersaji dengan selera yang tidak biasa, alias 1+1=3.


Kemudian, setelah melihat beberapa bentuk ruang, maka terpilihlah gedung ex-patung komplek Jogja National Museum, dimana kini berada dibawah naungan Katalis Art Forum. Acara ini pun pada akhirnya terselenggara berkat dukungan Jogja National Museum, Katalis Arts Forum Yogyakarta, dan Shöb. Pameran ini diselenggarakan dari tanggal 31 Januari 2009 hingga 4 Februari 2009.

The Show (Katalis Arts Forum: Sebuah Pengantar)

|

By. Farah Wardani

Katalis Art Forum dibangun pada bulan Oktober 2006, dan merupakan sebuah asosiasi terbuka untuk para perupa di Yogyakarta dengan dasar kesamaan visi untuk saling berbagi ruang eksplorasi dan peluang artistik serta kesadaran utk memediasi karya ke tingkat yang lebih luas. Awal berdirinya antara lain dari inisiasi ketuanya yang sekarang, pematung Ali Umar dan juga mantan penggiat Galeri Benda, galeri khusus trimatra yang telah almarhum, Bram Satya, karena itu juga Katalis sempat cukup identik untuk mengakomodir eksplorasi seni dari para perupa dengan medium trimatra, padahal pada prakteknya forum ini terbuka untuk perupa dari disiplin apa pun, bahkan juga dengan eksplorasi yang tidak terbatas. Katalis juga membantu anggotanya untuk manajemen karya dan pameran, serta melakukan upaya pengembangan dan pemberdayaan para perupa yang terlibat secara organik dan fleksibel.

Hingga kini jumlah perupa yang tergabung dalam Katalis mencakup sekitar hampir 86 orang anggota resmi, dan lebih dari 150 anggota informal. Sebagai sebuah forum perupa yang cukup besar dan sepenuhnya diinisiasi serta digerakkan oleh para perupanya sendiri, Katalis menjadi cerminan semangat gotong-royong dunia seni rupa di Yogyakarta, yang juga menyiratkan adanya kesadaran para perupa untuk saling berbagi dan membantu mengembangkan profesinya bersama-sama di medan seni yang semakin kompleks saat ini. Untuk pameran kali ini katalis arts forum mencoba menyelengarakan sebuah pameran yang bertujuan lebih kepada presentasi dari para anggotanya. Dan penekanan pada proses bekerja bersama para anggotanya baik yang mengikuti pameran tersebut maupun yang tidak, untuk saling mendukung berhasilnya pameran ini.


Sekarang ini, peta dan wajah dunia seni rupa tampaknya sudah mengalami perubahan yang sedemikian jauh dari, katakanlah, 5 tahun lalu. Ketika dulu seni rupa masih menjadi suatu wilayah tersendiri yang sempit dan eksklusif, maka sekarang ini dengan berbagai gejolak yang terjadi entah dari dorongan pasar atau juga meluasnya populasi apresiator seni, maka mau tidak mau seni rupa pun harus melangkah keluar dari tempurungnya yang kecil, dan membuat jaringan. Apakah perubahan ini akan membawa ke yang lebih baik? Kita mungkin harus menunggu, namun sementara itu langkah seperti yang dilakukan oleh Katalis Art Forum ini mencerminkan kesadaran para perupa yang tergabung di dalamnya akan hal ini, sesuatu yang harus selalu didukung oleh dunia seni rupa itu sendiri.

BERMAIN, MAIN-MAIN, DAN DIPERMAINKAN ( 3 D OBJECT EXHIBITION )

|

Oleh: Deni Juanedi*

Hidup adalah permainan, dalam bermain mesti memperhatikan aturan main, jika main-main hanya akan dipermainkan.


Sejak 1938 manusia mendapat julukan baru sebagai homo luden atau manusia bermain. Predikat yang diberikan oleh Johan Huizinga, sejarawan dan ahli budaya dari Belanda, mengisyaratkan bahwa bermain adalah elemen penting dalam pertumbuhan budaya. Sementara lebih dari tiga belas abad sebelumnya, dalam kitab suci Al Quran surat Al An’aam ayat 32 disebutkan bahwa kehidupan ini adalah permainan dan senda gurau belaka (kehidupan sesunguhnya ada di negeri akhirat).

Huizinga menyebutkan bahwa salah satu karakter bermain adalah bebas tanpa beban. Kondisi nir-tekanan memungkinkan manusia untuk mencerap banyak hal. Beberapa pendidik terinspirasi oleh gagasan tersebut untuk menciptakan teknik learning by playing.

Play with 3D Object yang dipilih Katalis Art Forum sebagai tajuk pameran yang berlangsung tanggal 22 September hingga 22 Oktober 2008 ini sedang menggunakan spirit bermain dalam menciptakan karya-karya tiga dimensi. Pemilihan terminologi tiga dimensi (3D object) ketimbang patung (sculpture) juga semakin memperkuat niatan bermain dalam melahirkan karya.

Patung secara tradisional diartikan sebagai karya trimatra yang diciptakan dengan cara memahat (carving) maupun mencetak (modelling) yang umumnya dibuat dari bahan kayu, batu, ataupun metal. Difinisi tersebut tak lagi memadai ketika karya trimatra dibuat dengan cara menyusun benda-benda tertentu yang tidak lazim untuk disebut sebagai sebuah patung, misalnya dengan merangkai bekas onderdil mobil, tumpukan buku, atau rangkaian bungkus mie instant. Apalagi untuk menyebut barang sehari-hari yang ditaruh begitu saja dalam ruang pamer.

Rata-rata penulis akan menelusuri cara kerja seperti ini pada karya Marcel Duchamp tahun 1917 bertitle Fountain. Dengan memakai nama samaran R. Mutt, Duchamp berniat menghadirkan paturasan (urinal) di ruang pamer tanpa menambah apapun kecuali tanda tangan dengan nama samarannya tersebut. Tempat kencing itu segera menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan dewan penyelenggara pameran dengan mempertanyakan apakah Fountain termasuk karya seni atau bukan, dan akhirnya mereka memutuskan untuk tidak memamerkan ‘barang’ tersebut. Fountain hilang setelah pameran, dan reproduksinya baru muncul di New York tahun 1950. Karya yang menjadi momentum penting seni modern tersebut sering dijuluki sebagai karya readymades atau found art.

Sebenaranya karya berbasis barang temuan telah dikerjakan berpuluh ribu tahun selumnya. Di zaman prasejarah, tahun 10.000 SM., orang Meksiko telah menggunakan tulang pinggul binatang ilama untuk membuat wajah binatang coyote. Dengan cerdas nenek moyang bangsa asli Amerika tersebut memanfaatkan lubang tulang pelvis sebagai mata coyote.

Semangat bermain dengan karya tiga dimensi semakin subur di era postmodern yang berslogan form follow fun, berbeda dengan form follow function seni modern atau form follow meaning seni klasik.

Bermain dengan objek tiga dimensi dalam pameran ini dapat dapat dilakukan dalam wilayah material, visual, maupun gagasan. Agung Hanafi Purboaji dengan karya Heaven Chair (2008) sukses bermain material. Ia memadukan closet duduk dengan jok mobil dan menghiasinya, persepsi kenikmakan ia timbulkan pada diri penonton, seolah-olah sedang buang hajat di surga.

Sementara Ismed lewat Objeck # 4 (2008) bermain di tataran visual. Peniti yang kodratnya berupa logam yang tajam, ditangannya dapat disulap menjadi bentuk-bentuk visual yang mencitrakan nada-nada puitik nan lembut. Bentuk repetisi yang dibuat dengan cara menganyam peniti mengingatkan pada kehalusan tirai sutra. Cahaya yang ditempatkan dengan tepat semakin mendramatisasi suasana.

Kasih Hartono lebih memilih bermain di wilayah gagasan. Ngeyel/Belajar Lansekap (2008) mewujudkan gagasan uniknya, sekaligus satiris, untuk mengatakan mulai padatnya tanah Indonesia. Lapangan sepak bola yang mestinya dibuat di lahan datar ia kerjakan di sawah berundak. Karya ini bermata ganda, selain persoalan kepadatan penduduk penonton juga akan melihat permainan yang tidak adil jika dilakukan di lapangan ini. Kesenjangan yang dalam antara miskin dengan kaya, bodoh dengan pintar, kuli dengan juragan, atau singkatnya yang di atas dengan yang di bawah tercermin di karya ini.

Bermain, atau tepatnya bermain dengan sungguh-sungguh di atas rel aturan main, bukanlah persoalan gambang. Bermain dengan penuh sportifitas tanpa kehilangan kreatifitas juga memerlukan kebijakan mental. Main-main, atau bermain dengan sembrono, sering kali berbuah masam dan berakibat buruk: dipermainkan. Karena hebatnya kekuatan bermain, sampai-sampai Csikzentmihalyi menyebut salah satu ciri pribadi kreatif adalah kombinasi antara sikap disiplin dan bermain dan dapat berselang-seling antara imajinasi dan fantasi, namun tetap bertumpu pada realitas. ▀

* Penulis adalah Dosen Seni Lukis ISI Yogyakarta dan Redaktur MAKNA Media Para Perupa.